Tuhan Telah Hilang, Berpikir Seperti PK
oleh: Anriadi Kalanding/Kritikus Sastra
PK memang gila, tak habis pikir penulis dibuatnya, barangkali memang begitulah namanya, peekay yang diartikan dalam bahasa india sebagai gila, ia memang gila, kalau perlu diatasnya lagi, mungkin ia stres ditinggal kekasih atau depresi karena dikejar Dept Collector, bukan hanya penulis yang dibuatnya cengingiran tegang tapi juga tentu masyarakat konteks sosial yang disinggungnya.
Tuhan Telah Hilang, begitulah cara tokoh protagonis PK mencari Tuhan yang hilang, dilain sisi, Tuhan telah Mati, seperti itu pula pandangan Nitsche tentang Tuhan dalam Humanisme yang menjadi awal mula kelahiran Renaissance, yang lain menganggap Tuhan telah terusir dan yang lebih parah adalah Tuhan telah dibunuh, dibunuh oleh manusia yang diciptakan lalu membunuh penciptanya.
PK adalah sebuah film bergenre “Romance Theology” atau mungkin ada yang menyebutnya “Filosofis” atau bahkan “Komedi” semua bisa jd, barangkali sepengetahuan penulis, film yang bertemakan seperti itu sangat sulit ditemui, kebanyakan film bercerita bagaimana kisah romantisme pria dan wanita digambarkan dalam persperktif teologi, tapi dalam film PK kisah romance hanya dijadikan sebagai cerita figuran, cerita utamnaya adalah tentang bagaimana mengenal Tuhan, tak hanya itu film ini juga mengisahkan tentang sebuah gejala “Theological Fallacy” yaitu pemahaman tentang kesalahan dalam beragama yang tidak hanya dialami oleh konteks sosiologis sastra dalam film tetapi juga konteks realitas sosiologis penonton.
Diawal film diceritakan seorang alien yang kemudian dikenal sebagai PK ditugaskan untuk mengamati bumi dengan segala keanekaragaman budaya dan agamanya, karena PK adalah seorang alien yang tak mengenal dan mengetahui apapun tentang bumi maka ia harus belajar mulai dari NOL seperti seorang bayi yang baru lahir ke dunia, tapi sayangnya sebuah alat pemancar komunikasi PK dicuri oleh orang yang tidak bertanggung jawab, akhirnya PK harus menetap cukup lama dibumi dan mulailah kisah perjalanan PK menemukan alat pemancarnya yang dicuri yang berujung pada cara PK berpikir secara holistik dan memandang segala sesuatu di bumi secara logis walau awalnya kehidupan di bumi sangat membingungkan.
Bumi memang aneh, penghuninya lebih aneh lagi, begitulah PK memandang dunia yang kejam dan munafik ini. Sebagai makhluk asing – sebenarnya PK dalam film digambarkan sebagai sebuah perjalanan hidup manusia dari lahir sampai mati, itulah mengapa PK yang baru turun dari pesawat luar angkasanya ditampilkan dengan bertelanjang bulat seperti kelahiran seorang bayi yang tidak membawa pakaian dan simbol keagamaan dan budaya apapun, tidak mengetahui bahasa apapun dan bahkan agama. memang PK juga digambarkan tidak tau berbahasa, tidak mengenal budaya, ideologi, bahkan agama. Ia juga tidak mengenal Tuhan. Sebab begitulah perjalanan kelahiran manusia yang tidak membawa pengetahuan apapun kecuali naluri seksual dan insting, barangkali begitulah Sigmund Freud memandang kepribadian manusia.
Dikarenakan PK memiliki masalah harus menemukan alat pemancar komunikasi tersebut, ia pun tidak tau harus berbuat apa dan harus meminta tolong kepada siapa, tidak ada manusia yang mampu menolongnya kecuali Tuhan, kata seseorang mencoba menghibur PK, ia pun percaya dengan omongan itu dan akhirnya perjalanan mencari Tuhan pun dimulai.
Perjalanan spiritual mencari Tuhan ternyata tidak semudah mencari mangga dikebun tetangga, sebab Tuhan yang diperkenalkan oleh manusia dan tokoh pemuka agama tak ada satupun yang mampu menjawab dan membantu PK, Tuhan pun hanya terdiam dalam bentuk patung, gambar, symbol dan upacara peribadatan yang menghabiskan banyak anggaran, namun tokoh pemuka agama menjelaskan bahwa jika ingin permintaan dan doanya dikabulkan maka ia harus menyumbang donasi kedalam kotak amal, PK pun melakukannya bahkan berkali-kali, namun karena tak kunjung mendapat jawaban dan pertolongan dari Tuhan maka PK pun mencoba menuntut Tuhan yang sudah digaji tetapi tidak bekerja menjalankan tugasnya sebagai Tuhan.
Menurut PK, Tuhan telah menipunya sebab PK sudah membayar Tuhan begitu mahal untuk membantunya namun tidak kunjung mendapat hasil, disilah perjalanan spiritual PK dimulai. PK mulai sering mengajukan pertanyaan tentang keanehan beribadah dan mencoba menentangnya, disatu sisi agama memerintahkan untuk menyumbang donasi pembangunan rumah ibadah tetapi ada begitu banyak orang miskin terlantar dijalan dan belum makan, ada begitu banyak hamba Tuhan yang tidak merasakan keadilan dan minuman yang sehat tetapi ummat beragama justru membuang susu untuk memandikan patung Tuhannya. barangkali begitulah pula keadaan dizaman Nabi Muhammad, ada begitu banyak orang miskin yang belum makan tetapi orang yang menyembah berhala hanya sibuk memberi makan Tuhannya yang sebenarnya ia tidak membutuhkan makanan dan uang sumbangan dari manusia.
Mendapati bahwa ada yang tidak beres dalam semua agama yang ia temui, PK menganggap bahwa ada yang salah dalam beragama. Seharusnya agama membawa keadilan, kesetaraan, kemanusiaan dan berkasih sayang tapi yang diliat hanyalah agama yang selalu meminta sumbangan dengan mengatas namakan Tuhan, tetapi bukan Tuhan yang diuntungkan melainkan para pemuka agama yang mengambil keuntungan materil dengan menjual Tuhan dan patung-patungnya. Pemuka agama dalam film pun digambarkan gemuk sejahtera melambangkan ia adalah orang kaya.
Kesadaran kritis PK lahir, menurutnya bahwa di dunia ini ada dua Tuhan, yaitu Tuhan yang menciptakan kita dan Tuhan yang kita ciptakan, lalu Tuhan yang manakah yang harus kita sembah? Tuhan yang menciptakan kita atau Tuhan yang kita ciptakan? jika berangkat dari cara pemahaman agama yang disampaikan oleh pemuka agama ternyata sangat bertentangan dengan prinsip dan tujuan agama itu didirikan, yaitu menuntun manusia agar menjadi manusia, humanis, adil, menyejahterakan, tidak berbohong, tidak menindas dan sebagainya, namun faktanya agama yang diajarkan manusia hanya memberatkan manusia dengan memeras harta menjadikan tokoh agama seperti Tuhan baru.
Cara beragama dalam film menunjukkan bahwa banyaknya pendeta dan pemuka agama yang menjadi kaya, disegani, dihormati bahkan diagungkan seperti Tuhan, manusia bukan lagi menyembah Tuhan tetapi sudah mulai tergiur menjadi Tuhan. Hal ini dikritik oleh PK bahwa ada Tuhan palsu yang menjelma sebagai Tuhan asli. perjalanan menumpas si Tuhan palsu pun dimulai.
Meski film ini mengkritik agama-agama seperti Islam, Hindu, Budha, Konghucu, Yahudi, Kristen dan Katolik tetapi inti pesan dari film ini bukanlah ingin merendahkan agama manapun tetapi lebih kepada kritik cara beragama kita yang keliru, kita perlu membedakan yang mana Tuhan yang menciptakan kita dan Tuhan yang kita ciptakan atau yang mana Tuhan asli dan mana Tuhan yang palsu. Film PK hanya mengkritik Tuhan yang diciptakan tokoh agama dan Tuhan palsu yang diperjual belikan demi mendapatkan keutnungan ekonomi dan poitik serta ribuan sumbangan dari pemeluk agama yang silih berganti.
PK berhipotesis bahwa salah satu hal yang membuat kita salah mengenal Tuhan adalah karena kita sebenarnya ber-Tuhan atau menyembah Tuhan kepada Tuhan yang palsu, ada banyak doa yang tidak terkabul disebabkan karena selama ini kita berdoa bukan kepada Tuhan yang asli melainkan kepada Tuhan yang palsu, fenomena ini disebut didalam film sebagai “Salah Sambung” (Wrong Number) yaitu salah dalam mengenal Tuhan.
Memang perjalanan hidup adalah tentang bagaimana menemukan dan mengenal Tuhan, itulah mengapa Tuhan menciptakan akal yaitu untuk mengenalnya. mempertanyakan Tuhan memang sesuatu yang dianggap menghina Tuhan, tetapi bukankah Tuhan sengaja menciptakan akal agar Tuhan itu dipertanyakan terlebih dahulu baru kemudian Tuhan ditemukan? Menemukan Tuhan adalah perjalanan filosofis dan spiritualis, tetapi tidak sedikit yang salah menemukan Tuhan disebabkan manusia tidak menggunakan instrumen yang digunakan untuk menemukan Tuhan yaitu dengan instrumen Bayani, Burhani dan Irfani.
Mempertanyakan Tuhan adalah syarat mutlak mengenal Tuhan, begitu pulalah Nabi Ibrahim mengenal tuhannya secara filosofis, sebab jika tidak maka kita akan menemukan Tuhan palsu yang diciptakan manusia, mengajak beragama yang keliru demi kepuasan nafsu dan materi manusia yang tidak akan pernah terpuaskan. Inilah konsep yang disebut “Salah Sambung” itu bahwa kita mengenal Tuhan yang sebenarnya bukan Tuhan asli melainkan Tuhan yang sudah didesain sedemikian rupa agar manusia bisa dieksploitasi sesuai kepentingan di pembuat Tuhan palsu ini.
Film ini memang berani, di sebuah negara yang masih menganut paham fanatik buta beragama, si sutradara dengan yakin bahwa film ini tidak akan menimbulkan gejolak konflik antar agama, bagaimana tidak, hambir semua agama disinggung dalam film ini, meski begitu sejak dirilis dari tahun 2014 hingga sekarang, film ini tidak mendapatkan penolakan dari penganut agama garis keras di India, hal ini mungkin karena PK yang menjadi protagonis digambar dengan posisi seorang ateis yang tidak memiliki agama, bayangkan saja jika PK ternyata memiliki agama dalam film ini pasti akan lahir konflik agama yang berkepanjangan, disinilah letak kecerdasan si sutradara mampu menghindari kemungkinan buruk yang terjadi.
Tapi hal ini mungkin berbeda jika film seperti PK ini diproduksi di Indonesia, meskipun negara kita menganut paham Pancasila, multikulturalisme dan pluralisme beragama, rasanya penulis pesimis film ini akan diterima dalam kultur fanatik beragama yang kuat di nusantara, India memang jarang mengampanyekan multikuluralisme dan pluralisme beragama tetapi mampu menerima kekayaan sastra film sebesar PK ini. Jangankan diproduksi di Indonesia, film yang bertemakan dalam film PK pun masih menjadi perdebatan apakah layak dan bolehkah menonton film ini atau tidak? bagi beberapa kelompok islam konservatif akan menganggap bahwa film ini melecehkan agama termasuk islam. Bagi pengkritik sastra film mungkin akan menyimpulkan bahwa film PK tidak mengkritik sedikitpun Tuhan atau agama besar di dunia melainkan hanya mengkritik Tuhan-Tuhan palsu dan Tuhan yang diciptakan oleh manusia yang justru menyebabkan kita jauh dan tidak mengenal Tuhan asli kita sendiri.
Sosiologi Sastra Ian Watt menjelaskan bahwa ada 3 hal dalam sastra yaitu 1) Konteks Sosial Pengarang, 2) Konteks Sosial Sastra dan 3) Fungsi Sastra. Ia Watt menjelaskan bahwa fungsi sastra yaitu 1) ia seperti karya seorang pendeta atau nabi yang menjadi pembaharu dan perombak zaman, lalu 2) berfungsi seperti seni yang menghibur, terakhir 3) sastra berfungsi mengajarkan sesuatu secara menghibur. Apa yang penulis sajikan dalam tulisan ini mencoba menganalis sejauh mana konteks sosial dalam sastra dan bagaimana fungsi sastra di film PK ini.
Akhirnya, kata “kritik” yang selama ini kita pahami hanya berupa mencari kesalahan, kekurangan, mencibir, menghina atau merendahkan sesuatu tidaklah sama dengan istilah Kritik dalam Sastra. Bagi dunia sastra, Kritik Sastra itu adalah sebuah metodologi untuk memahami secara mendalam, menganilis, menerjemahkan dan menafsirkan karya sastra secara mendalam dan ilmiah. Film PK bagi penulis adalah sebuah maha karya sastra film yang luar biasa, ia mampu menjadi pembaharu, perombak, sebagai seni yang menghibur dan bahkan mengajarkan kita bagaimana mengenal Tuhan dan beragama yang benar.