Menjelajah Dusun Kassa: Menembus Liku, Membawa Pelita Ilmu dan Ukhuwah
Furqan Mawardi, Muballigh Akar Rumput

Beberapa hari pasca Idulfitri, tepatnya di bulan Syawal yang penuh berkah, saya mendapatkan kunjungan dari seorang mahasiswa semester dua Universitas Muhammadiyah Mamuju bernama Aidil. Putra asli Botteng. Ia datang dengan semangat yang menyala, membawa serta sepucuk surat undangan dari kampung halamannya di Dusun Kassa, Desa Botteng, Kecamatan Simboro, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat. Dalam surat itu, tertulis permohonan agar saya bersedia hadir sebagai pembicara membawa hikmah dalam acara halal bihalal yang akan diadakan pada jumat tanggal 11 April 2025 malam hari, pukul 20.00 WITA.
Saya memahami, sebagaimana lazimnya di desa-desa pegunungan, kegiatan keagamaan sering dilaksanakan malam hari. Pagi, siang hingga sore warga bekerja di kebun, hanya malam hari mereka berkumpul bersama keluarga dan masyarakat. Maka saya pun menetapkan hati untuk hadir, meski saya tahu medan menuju sana tidaklah mudah.
Hari Jumat, 11 April 2024, selepas shalat Magrib, saya bersama tim berangkat dari Mamuju menuju Dusun Kassa. Hujan yang mengguyur sejak siang belum juga redah. Di awal perjalanan, jalan masih bersahabat. Namun begitu memasuki jalur pegunungan, jalanan berubah menjadi tanah licin berlumpur. Mobil kami beberapa kali tersendat. Akhirnya, kami memutuskan untuk berjalan kaki demi mengejar waktu.
Sesampainya di atas, pemandangan yang kami dapati sungguh menggetarkan hati. Tenda berdiri megah, panggung tertata rapi, lampu bersinar terang, dan suara sound system menggema di tengah sejuknya malam pegunungan. Masyarakat menyambut kami dengan hangat, penuh semangat ukhuwah.
Acara dimulai. Tema yang diminta panitia adalah “Mempererat Ukhuwah Islamiyah Pasca Idulfitri”. Saya menyampaikan bahwa Ramadhan bukan hanya sekadar bulan ritual, tetapi bulan pembinaan jiwa. Maka Syawal adalah saat menguji hasil dari madrasah Ramadan. Saya bawakan ceramah dengan menggunakan proyektor dan membagikan tampilan visual serta nasyid untuk menghidupkan suasana.
Acara berlangsung hingga pukul 23.00 malam. Seusai ceramah, warga tua, muda, anak-anak mengerumuni kami. Foto bersama diabadikan di berbagai sudut. Makanan khas desa disajikan penuh cinta dalam bosara. Saya merasa seperti seorang tamu agung yang diharapkan, bukan hanya untuk malam itu, tapi untuk waktu-waktu yang akan datang.
Saya menyisipkan pula pesan-pesan penting tentang pendidikan. Saya sampaikan bahwa masa depan desa sangat ditentukan oleh kesadaran akan pentingnya ilmu. Pendidikan adalah jalan menuju kemandirian dan peradaban. Banyak anak-anak di desa ini hanya tamat SMA, SMP, bahan hanya SD,. Banyak diantara mereka menikah muda lalu tidak lama kemudian bercerai. Korbannya adalah anaknya yang tidak terurus dengan baik. Akibatnya, stunting dan ketimpangan terus terjadi.
Saya sampaikan pula peluang beasiswa dari Universitas Muhammadiyah Mamuju. Responsnya luar biasa. Ada orang tua yang menyampaikan harapan agar anaknya bisa kuliah. Ada juga anak muda yang langsung menyatakan niatnya untuk lanjut studi. Wajah-wajah itu menyimpan harapan besar, yang bagi saya, adalah cahaya kecil yang harus terus disulut.
Seorang tokoh masyarakat mendekati saya dan berkata, “Kami sangat bersyukur atas kehadiran Bapak. Kampung kami butuh cahaya seperti ini. Kami harap ini bukan yang terakhir.”
Bagi saya, ini bukan sekadar perjalanan dakwah. Ini adalah misi kemanusiaan. Saya ingin kembali, bukan hanya untuk ceramah, tapi membawa gerakan perubahan: pendidikan, keilmuan, dan kesadaran sosial.
Saya pulang malam itu dengan tubuh lelah, namun hati penuh bahagia. Di tengah jalan berbatu dan gelap, saya menemukan cahaya bahwa secercah ilmu yang tulus bisa menjadi obor bagi kampung yang haus akan pencerahan.