Kemerdekaan Otentik atau Kemerdekaan Semu?
Furqan Mawardi
Dosen Universitas Muhammadiyah Mamuju
Negeri katulistiwa ini dihampari kekayaan alam yang luar biasa. Namun dikelola oleh orang lain. Rakyat hampir tak menikmatinya. Jika kekayaan alam ini belum bisa dikuasai negara Jangan teriak merdeka ! Lebih baik diam dan berfikir Malu kita. Demokrasi korporasi mencengkran negeri ini. Keuangan yang maha kuasa. Korupsi menjadi budaya. Kolusi makin menganga. Kerugian uang rakyat tak terkira. Jika perilaku ini masih mewarnai bangsa Jangan teriak merdeka !. Lebih baik diam dan berfikir Malu kita.
Sepenggal puisi Taufik Ismail memberikan peringatan yang sangat keras tentang arti sebuah kemerdekaan. Kemerdekaan yang otentik, menyeluruh , mensejahterakan, keadilan yang merata dan hukum yang tegak diatas semua.
Kemerdekaan yang hakiki adalah kemerdekaan yang didasarkan pada kehendak dan cita-cita bangsa sendiri. Negara yang merdeka adalah negara yang memiliki kedaulatan dan kemandirian tanpa ada campur tangan pihak asing.
Pada tanggal 17 Agustus 2023 tahun ini, kita merayakan kemerdekaan Indonesia yang ke 78. Sabang sampai Maruke menyambutnya dengan gagap gempita. Berbagai macam cara merayakan hari kemerdekaan. Seperti lomba gerak jalan, panjat pinang, tarik tambang, karaoke, lomba joget, makan kerupuk dan lainnya. Berbagai perlombaan ini konon merupakan bentuk ekspresi kegembiraan atas kemerdekaan negara kita tercinta.
Pertanyaannya adalah, apakah kita saat ini betul-betul sudah merdeka secara hakiki?
Kalau Merdeka hanya terbebas dari penjahahan fisik berupa bebas dari todongan senjata, mungkin jawabannya iya. Namun ketika menengok dari aspek lainnya. Tentu kita perlu menelaahnya lebih mendalam. Apakah betul kita saat ini sudah betul-betul merdeka atau belum.
Kemerdekan Semu
Ada hal yang paling fundamental yang mesti dipahami bersama, bahwa saat ini kita memang telah terbebas dari penjajah secara fisik. Namun ada penjajahan gaya baru yang menyerang bangsa kita melalui pemikiran, pergaulan,budaya, serta gaya hidup. Penjajahan gaya baru ini disebut sebagai neo imperialisme.
Neoimperialime adalah penjajahan model baru yang ditempuh oleh negara-negara asing (kapitalis/pemilik modal) untuk menguasai dan menghisap negara lain. Pandangan saat ini dipegang oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Dan akibat pengadopsian pandangan ini, timbul permasalahan dalam berbagai aspek kehidupan di negeri ini.
Misalnya maraknya perilaku seksual liberal di kalangan penduduk akibat adopsi gaya hidup Barat yang liberal, munculnya pahlawan bertopeng dengan pinjaman ringan atau subsidi bersyarat atau perjanjian lainnya. hutang berat. Perbudakan menyebabkan negara-negara termasuk Indonesia, dikaitkan dengan negara-negara kolonial kapitalis dan sumber daya alam terus terkuras.
Akibat penjajahan neo imperialisme ini akhirnya Indonesia mengalami nestapa dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai aspek, diantaranya :
Pertama Ketergantungan ekonomi pada negara-negara asing, terutama negara-negara adikuasa yang memiliki kepentingan politik dan strategis di Indonesia.
Ketergantungan ekonomi ini membuat Indonesia tidak memiliki kedaulatan dan otonomi dalam mengelola sumber daya alam dan kekayaan nasionalnya. Indonesia juga rentan terhadap tekanan dan intervensi dari negara-negara asing yang ingin mempengaruhi kebijakan pemerintah Indonesia.
Efek dari hal tersebut, Indonesia hingga kini masih bergantung pada bantuan dan pinjaman dari negara-negara asing dan lembaga keuangan internasional. Sementara dalam pinjaman ini memiliki syarat-syarat yang merugikan kepentingan nasional Indonesia.
Pada April lalu, Kementerian Keuangan melaporkan posisi utang pemerintah mencapai Rp 7.849,89 triliun. Artinya, setiap warga negara Indonesia harus memikul utang publik sebesar Rp 28 juta.
Anggota Komisi XI DPR Misbakhun menyatakan bahwa utang pemerintah sebenarnya lebih dari Rp 20 triliun. Menurutnya, jumlah tersebut merupakan akumulasi dari berbagai jenis utang.
Jumlah tersebut merupakan akumulasi utang sejak berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1945 dengan segala masa jabatan presiden. Utang ini, jika salah urus, akan menjadi beban dan bom waktu akan meledak menjadi krisis yang lebih merusak dari pada krisis moneter ditahun 1998.
Kedua, Kemiskinan dan ketimpangan sosial yang masih tinggi di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Kemiskinan dan ketimpangan sosial ini menunjukkan bahwa kemerdekaan belum memberikan manfaat yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Banyak rakyat Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan, tidak memiliki akses yang layak terhadap pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
Banyak pula rakyat Indonesia yang menjadi korban diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan.
Ketiga, Pemanfaatan kekayaan alam. Indonesia masih belum mampu memanfaatkan kekayaan alam dan budayanya secara optimal dan berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas hidup rakyatnya.
Bahkan ketimpangan kepemilikian di negeri ini sangat timpang. Bagaikan langit dan bumi. Seperti yang disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi II DPR RI Saan Mustopa, tercatat 68% tanah di Indonesia dikuasai oleh 1% korporasi dan korporasi besar. Bahkan ada perusahaan yang menguasai perkebunan sawit dengan total luas 123.591 hektar, hampir dua kali lipat luas DKI Jakarta yang memiliki luas 66.150 hektar.
Dengan ketimpangan tersebut, sangat wajar ketika Bank Dunia melaporkan bahwa 40% penduduk Indonesia tergolong miskin. Berdasarkan perhitungannya, garis kemiskinan ekstrim ditetapkan sebesar $2,15/orang/hari. Ini setara dengan Rp 967.950 per kapita per bulan. Artinya, orang yang berpenghasilan di bawah itu harus disebut miskin.
Menurut perhitungan Bank Dunia, berarti ada 108 juta penduduk Indonesia yang berada dalam kategori miskin. Efek dari kemiskinan ini sangat beragam. Ada 1,9 juta lulusan SMA yang tidak bisa melanjutkan pendidikan karena mahalnya biaya pendidikan. Ada 17 juta orang Indonesia yang berisiko kekurangan gizi, dan ini merupakan jumlah data tertinggi di Asia Tenggara.
Keempat, Budaya dan moral agama. Akibat pengaruh globalisasi dan modernisasi, budaya dan moral mengalami degradasi. Hal ini menunjukkan bahwa kemerdekaan belum mampu menjaga identitas dan nilai-nilai bangsa Indonesia.
Banyak rakyat Indonesia yang kehilangan rasa nasionalisme, patriotisme, dan cinta tanah air. Banyak pula rakyat Indonesia yang terjerumus dalam perilaku negatif seperti korupsi, narkoba, pornografi, radikalisme, dan terorisme.
Akhirnya ketika bangsa Indonesia masih terbelenggu dengan fakta-fakta tersebut diatas, Maka sangat patut kita bertanya. Apakah kemerdekaan saat ini yang kita alami sudah masuk kategori kemerdekaan yang otentik atau hanya kemerdekaan yang semu? Bila masih semu, malu kita untuk berteriak merdeka. Lebih diam dan berfikir.