Hari Lahir Pancasila dan Tantangan Reaktualisasi Nilai-Nilai Kebangsaan
Hadi Eka Saputra.S.E.M.M
Duta Pancasila Purna Paskibraka Indonesia/BPIP

Tanggal 1 Juni diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila—sebuah momen penting dalam sejarah bangsa Indonesia, ketika Bung Karno untuk pertama kalinya memperkenalkan dasar negara dalam sidang BPUPKI tahun 1945. Pancasila bukan sekadar rumusan ideologis, melainkan hasil perenungan mendalam atas jati diri bangsa yang majemuk. Ia lahir bukan dari ruang hampa, melainkan dari semangat untuk merajut keberagaman menjadi kekuatan bersama.
Namun, lebih dari tujuh dekade setelah kemerdekaan, pertanyaan mendasar perlu kita ajukan: Apakah Pancasila benar-benar telah menjadi pedoman hidup berbangsa dan bernegara? Ataukah ia hanya menjadi slogan kosong yang rutin didengungkan setiap tanggal 1 Juni tanpa perwujudan nyata dalam kehidupan sehari-hari?
Pancasila di Antara Realitas dan Harapan
Pancasila mengajarkan kita tentang ketuhanan yang inklusif, kemanusiaan yang adil, persatuan yang tulus, demokrasi yang bermartabat, dan keadilan sosial yang merata. Namun dalam praktiknya, banyak aspek kehidupan kita yang justru bertentangan dengan nilai-nilai luhur tersebut.
Fenomena intoleransi atas dasar agama dan keyakinan masih sering terjadi, bahkan melibatkan institusi negara. Ketimpangan ekonomi semakin tajam antara kota dan desa, pusat dan daerah, si kaya dan si miskin. Korupsi yang merajalela di berbagai lini pemerintahan mencederai sila ke-5 tentang keadilan sosial. Pemilu seringkali menjadi ajang perebutan kekuasaan yang transaksional, bukan ruang kontestasi ide untuk kebaikan bersama. Ironisnya, semua itu berlangsung dalam negara yang mengaku berlandaskan Pancasila.
Lebih menyedihkan lagi, nilai-nilai Pancasila yang seharusnya menjadi fondasi etika publik justru dikerdilkan menjadi materi hafalan semata dalam pendidikan formal. Banyak generasi muda yang mengenal Pancasila sebatas teks, bukan sebagai panduan hidup. Ketika ideologi dijauhkan dari realitas sosial, ia mudah tergerus oleh arus pragmatisme dan radikalisme.
Pancasila Bukan Dogma, Tapi Proyek Peradaban
Kita harus menyadari bahwa Pancasila bukan dogma beku yang hanya dijaga dalam museum sejarah. Ia adalah ide hidup, proyek peradaban yang menuntut keberanian untuk terus direaktualisasi sesuai konteks zaman. Dalam dunia yang terus berubah dan kompleks, Pancasila harus menjadi sumber inspirasi untuk menghadapi tantangan global seperti krisis lingkungan, digitalisasi, dan disrupsi sosial.
Reaktualisasi Pancasila berarti membumikan nilai-nilainya dalam kebijakan publik: pendidikan yang merdeka dan berkeadilan, layanan kesehatan yang menyentuh seluruh pelosok, perlindungan atas hak-hak warga negara tanpa diskriminasi, serta penegakan hukum yang jujur dan berpihak pada keadilan substantif.
Mengubah Perayaan Menjadi Gerakan
Hari Lahir Pancasila seharusnya tidak berhenti pada upacara formal, spanduk, dan pidato seremonial. Kita membutuhkan perubahan paradigma: dari memperingati menjadi menghidupkan, dari mengenang menjadi menggerakkan. Setiap individu, lembaga pendidikan, institusi negara, dan komunitas masyarakat harus menjadikan Pancasila sebagai kompas moral dan arah kebijakan.
Pemerintah harus memberi teladan dalam mewujudkan nilai-nilai Pancasila, bukan sekadar menjadikannya alat legitimasi kekuasaan. Sementara itu, masyarakat sipil perlu terus mengkritisi dan mengawal agar Pancasila benar-benar bekerja dalam praktik kehidupan bernegara.
Memperingati Hari Lahir Pancasila adalah momentum untuk bertanya dengan jujur: apakah kita benar-benar hidup dalam semangat Pancasila, atau sekadar memperingatinya di atas kertas? Di tengah berbagai tantangan bangsa—dari kemiskinan, ketidakadilan, sampai krisis kepercayaan publik—jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan masa depan Indonesia.
Pancasila adalah warisan, tapi bukan untuk disimpan—ia harus diperjuangkan, dihidupi, dan diwariskan kembali dalam bentuk tindakan nyata. Karena hanya dengan begitu, Indonesia dapat menjadi rumah besar yang adil, beradab, dan bersatu untuk seluruh rakyatnya.