Aktivis Kampus tapi Bukan di Kampus
Oleh: Anriadi Kalanding
Agak ngeri membaca terminologi ini, memang aktivis kampus dipuja-puja oleh kalangan mahasiswa dan juga pejabat tentunya, dengan suara lantang menyampaikan suaranya mengatas namakan rakyat, lalu mengatas namakan lagi suara rakyat adalah suara Tuhan. Mereka tidak hanya mewakili rakyat tapi juga mewakili Tuhan. Tapi Tuhan yang mana? tentu Tuhan yang mereka sembah meski mereka juga kadang menghina Tuhan meninggalkan ajarannya sambil berkata “suara rakyat adalah suara Tuhan”, sungguh begitu puitis.
Organisasi kemahasiswaan lahir lalu diharap menjadi solusi, mengatasnamakan warna diri lalu mangagitasi para mahasiswa lain bahwa “kitalah yang terbaik, bukan itu yang disana. Organisasi ini sudah melahirkan banyak tokoh bangsa walau beberapa diantaranya terlibat kasus korupsi dan jual beli jabatan”.
Lalu kampus menjadi arena pertarungan ideologis dan politik mahasiswa, berebut jadi “kosong satu” di senat atau BEM kampus sambil membawa golongan dan ideologinya, tak jarang hal ini berujung benturan fisik karena masing-masing adalah perwakilan kelompok ideologis, bertarung eksistensi di jalan berteriak lantang untuk mendapatkan perhatian pejabat lalu entah apa sesudahnya, mungkin itu hanya akan menjadi rahasia bagi masing-masing kelompok.
Walau organisasi mahasiswa begitu banyak tapi kampus masih tetap sepi. Para aktivis kampus lebih tertarik meninggalkan ruang sudut kampus beralih ke warkop, taman, hotel, atau tempat wisata dan hiburan lain. Katanya sih itu untuk menarik minat mahasiswa untuk bergabung tapi justru hal itu malah menjauhkan mahasiswa dari kampusnya sendiri.
Beberapa tokoh revolusioner dalam sejarah diklaim adalah produk dari sebuah kampus, tidak hanya aktif mengatas namakan kampus tapi juga hampir sebagian eksistensi dan kegiatan intelektual berada dalam dan dimulai dari ruang lingkup kampus. Al Afghani, Muhammad Abduh, Al-Kwakibi, Al Maududi, Murthada Muthahari, Ali Syariati dan tokoh lainnya adalah produk sudut intelektual (kampus).
Kampus menjadi sepi seperti kuburan, malamnya lebih menyeramkan lagi. Tak ada aktivitas intelektual, kajian, diskusi, sastra atau berbagi bacaan. Semua meninggalkan kampus menuju ruang ramai diluar sana bergabung dengan para penguasa juga dengan makhluk Hedonisme yang menggiurkan. Kini, kampus menjadi ruang perkuliahan akademik yang membosankan, mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang) lalu menjadi agenda wajib setiap mahasiswa. Selepas pulang dari kelas yang bikin ngantuk maka waktunya cepat-cepat tinggalkan kampus yang sepi dan membosakan ini. Panggilan healing sepertinya lebih menarik dibanding panggilan nongkrong dikampus lalu berdiskusi tentang hilangnya kualitas dan semangat literasi juga intelektual mahasiswa.
Kampus perlu dijadikan sebagai taman pengetahuan, bukan tempat doktrin agar terbebas dari berbagai bentuk kekerasan, begitulah Eko Prasetyo memahaminya. Hal ini hanya bisa dicapai jika sudut dan ruang kampus banyak diisi dengan agenda diskusi, kajian, sastra dan gerakan intelektual lainnya. Organisasi internal kampus lebih punya tugas pokok berkegiatan dikampus dibanding organisasi eksternal, tapi faktanya di beberapa kampus organisasi internal bermetamorfosis menjadi organisasi eksternal yang lebih memilih pindah eksistensi jauh dari habitatnya. Lalu siapa yang mengisi kampus? pertanyaan ini cukup menarik bagi kalangan intelektual, jika para aktivis meninggalkan kampus maka kampus akan didominasi oleh kapitalis yang menargetkan mahasiswa hedon dan pragmatis. Bagi kapitalis dan anak-anaknya, mahasiswa adalah ladang subur bagi berlangsungnya aktivitas kapitalisme yang mapan, maka tak heran banyak antek-antek kapitalis lalu dengan mudah masuk kampus secara bergerombol dan diminati mahasiswa. Tak hanya itu, mahasiswa sebagai kontrol sosial kehilangan peran pada seluruh kebijakan birokrasi kampus yang merugikan mahasiswa itu sendiri. Berbagai issu strategis dikampus tidak lebih menarik bagi mahasiswa dibanding dengan issu yang selalu berkaitan dengan uang diluar sana (money).
Beberapa gerakan aktivis kampus mulai susah lepas dari tunggangan politik karena meninggalkan kampus, hal ini sudah jauh diprediksikan oleh Soe Hok Gie yang merupakan aktifis 1960-an. Pagar kampus sebagai pemisah antara kepentingan politik luar dan gerakan intelektual mahasiswa kampus telah runtuh tak berbekas. Kini kepentingan politik dengan mudah masuk kampus lalu menyeret satu persatu mahasiswa meninggalkan ruang dialektika dan prosesnya. Alhasil, kampus sepi sebagaimana sepinya masjid dan tak ada lagi aktivitas ibadah intelektual. Kampus lalu dianggap hanya ruang akademik, sama seperti masjid hanya dianggap sebagai rumah ibadah spiritual. Kampus dan masjid pun kehilangan fungsinya sebagai pusat peradaban.
Kegelisahan Soe Hok Gie mungkin ada benarnya juga, salah satu penyebab hilangnya semangat intelektual aktivis kampus adalah karena mahasiswa sudah berani meninggalkan kampus dan sastra. Mimbar bebas kampus sebagai cikal bakal lahirnya solusi kebangsaan dan ilmu pengetahuan harus tetap dijaga. hal ini hanya akan terjadi jika para aktivis kampus mulai membangun tradisi idealisme intelektualnya sejak dari sudut kampus lalu keluar seperti seorang Cowboy yang datang ke sebuah kota untuk menumpas kejahatan, setelah itu ia harus pergi lagi tanpa seorang penduduk kota itupun tahu siapa penolong mereka dan kemana gerangan ia pergi tanpa meminta balasan sebab memang itulah tugas intelektual. Kalau perlu aktivis harus menjadikan kampus sebagai rumah, bersekretariat dan tinggal menetap didalam agar budaya intelektual dan sastra berputar setiap hari disudut gedung kampus, dengan begini kampus akan jauh dari kesan seperti kuburan dan akan menjadi solusi.
Mahasiswa yang membaca pun sulit ditemui, perpustakaan sepi layaknya kamar mayat. Di tas mahasiswa hanya ada skincare, gadged dan buku catatan mata kuliah yang gunanya hanya menulis tugas kuliah yg memberatkan. Maka tak heran jika data UNESCO menyebut bahwa minat baca orang Indonesia hanya 0,001%, artinya dari 1,000 orang Indonesia hanya ada 1 orang yang rajin membaca. Data ini semakin diperparah dengan data dari World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, ternyata Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61), sungguh begitu memprihatinkan.
Lalu ditambah lagi dengan diskursus pembicraan mahasiswa yang receh dan hanya sibuk bergosip, mencaci maki di media sosial lalu membanggakan diri sebagai Mahasiswa, aktivis bahkan intelektual. Diskusi persoalan bangsa juga tema yang dianggap terlalu memberatkan, masalah stunting, pernikahan dini, kemiskinan, pendidikan yang tidak merata dan lain-lain dianggap hanya tanggung jawab pemerintah saja tanpa menyumbangkan sedikitpun gagasan yg solutif. Melalui kampus, budaya literasi perlu ditanamkan, mahasiswa wajib selalu membawa buku bacaan di tas kemana dan dimanapun ia berada. Teman terbaik menunggu bagi mahasiswa adalah buku bacaan, jika hal ini mampu dikampanyekan maka masalah yang lain lambat laun mampu diselesaikan. Pemandangan terindah dan paling langka dikampus adalah melihat mahasiswa yang ketika duduk sendiri membaca buku, lalu ketika berkumpul berdiskusi memikirkan nasib persoalan bangsa lalu menawarkan gagasan kreatif yg cemerlang.
Lahirnya sebuah peradaban sejatinya terlahir dan dimulai sejak dari kampus, karena ia adalah tempat mula mendesain peradaban dan arena perjuangan kelas. Beberapa dari mereka justru lebih suka nongkrong didepan kampus seberang jalan daripada dalam ruang kampus yang terbuka lebar, padahal kampus adalah tempat lahirnya berbagai ideologi dan aliran pemikiran yang bebas dan merdeka, disana ada tradisi intelektual dan sastra, siangnya kuliah lalu malamnya berdiskusi tentang suramnya peradaban kemudian lahir ide dan gagasan konstruktif yang solutif dan mencerahkan.
Berkembangnya paham “Mahasiswa Tradisionalis” juga memperparah keadaan. Menurut paham mereka, mahasiswa harus keluar dari kampus untuk berbaur dengan masyarakat yang tertindas. Secara tekstual mungkin ini ada benarnya juga tetapi secara kontekstual tidak tepat. Mahasiswa yang berbaur dengan masyarakat tanpa terlebih dahulu mematangkan idealisme dan intelektualnya di kampus hanya akan menjadi benalu lalu dipengaruhi oleh masyarakat yang konservatif. Gerakan mahasiswa hanya akan ditunggangi oleh tradisi mapan yang sudah mengakar kuat dalam masyarakat sebab fondasi idealisme mahasiwa yang tidak diproses matang di kampus. Idealnya mungkin, mahasiswa perlu bergerak berdasarkan pemahaman dan kesadaran kritis intelektual mereka lalu membangun gerakan massa dan mengarahkannya harus kemana, bukan malah diarahkan, dan itu harus dimulai dari sudut-sudut kampus.
Tipikal mahasiswa pemalas dan dimanja oleh fasilitas adalah sasaran empuk kapitalisme pendidikan, belum lagi yang buta sastra serta malas membaca buku. Lalu semakin diperparah dengan larinya aktivis kampus dari kampus. Mahasiswa bersumbu pendek dan bermental kepiting seharusnya diselamatkan oleh mereka yang mengaku sebagai aktivis kampus. Selama ruang kampus semakin sunyi seperti kuburan, selama itu pula gerakan mahasiswa perlu diperbaharui dan dirombak, kembalikan aktivis kampus kembali ke kampus, kembalikan aktivis agama kembali ke masjid dan tempat ibadah.