“21 Warga Sulawesi Barat Dipanggil Polda Sulbar Usai Protes: Negeri Ini Bukan Lagi Milik Rakyat, Tapi Milik Penguasa dan Pengusaha”

Demokrasi seharusnya menjadi wadah bagi rakyat untuk bersuara, tetapi mengapa mereka yang menyuarakan keadilan justru mendapatkan perlakuan berbeda? Kami menduga adanya diskriminasi terhadap 21 warga Sulawesi Barat khusus mamuju tengah yang dipanggil oleh Polda Sulbar setelah mereka melakukan aksi protes terhadap aktivitas penambangan pasir yang merusak lingkungan dan mengancam kehidupan mereka.
Biasanya, mahasiswa berada di garis depan dalam memperjuangkan keadilan. Namun, ketika dampak eksploitasi semakin nyata, masyarakat sendiri yang akhirnya melawan ketidak adilan yang di alaminya. Mereka tidak bisa terus berdiam diri melihat tanah dan laut mereka dihancurkan demi kepentingan segelintir pihak.
Namun, alih-alih mendengar suara rakyat, aparat justru mengambil langkah yang memunculkan dugaan adanya kriminalisasi. Apakah ini pertanda bahwa demokrasi yang kita banggakan semakin kehilangan makna?
Jika demokrasi berarti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, mengapa mereka yang memperjuangkan haknya justru mendapat perlakuan berbeda? Jika hukum masih menjadi panglima, mengapa hukum justru terlihat lebih tajam ke bawah dan tumpul ke atas?
Kasus ini bukan sekadar tentang tambang pasir. Ini adalah potret bagaimana kekuasaan semakin menekan hak-hak rakyat. Ketika kepentingan segelintir elite lebih diutamakan daripada kesejahteraan masyarakat, demokrasi hanya menjadi ilusi.
Kita menyaksikan betapa hukum sering kali berjalan sesuai kepentingan tertentu. Ketika rakyat bersuara, mereka dianggap pengganggu ketertiban. Namun, ketika korporasi merusak lingkungan dan mengancam kehidupan, mereka justru mendapat perlindungan.
Pemerintah seharusnya berdiri di pihak rakyat, tetapi nyatanya lebih sering tunduk pada kepentingan modal. Ketika rakyat hanya bisa diam karena takut ditindas, ketika suara mereka dianggap ancaman bagi kekuasaan, saat itulah kita tahu: demokrasi di negeri ini hanya menjadi kedok bagi kepentingan segelintir orang.
Jika rakyat terus diperlukan seperti musuh, jika hukum hanya menjadi alat kekuasaan, maka inilah saatnya kita bertanya: apakah demokrasi di negri ini masih hidup atau sudah mati perlahan-lahan sampai kita di buat tidak sadar